BTemplates.com

Selamat Datang Di Website Majelis Al-Badar, Komunitas Online Para Pecinta Rasulullah...

Selasa, 14 November 2017

Hukum Ritual Rebo Wekasan

Rabu Wekasan adalah tradisi ritual yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, guna memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai macam malapetaka yang akan terjadi pada hari tersebut. Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dll.

Bentuk ritual Rebo Wekasan meliputi empat hal; (1) shalat tolak bala’, (2) berdoa dengan doa-doa khusus, (3) minum air jimat, dan (4) selamatan, sedekah, silaturrahin, dan berbuat baik kepada sesama.

Asal-usul tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Muallaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid (biasa disebut: Mujarrobat ad-Dairobi). Anjuran serupa juga terdapat pada kitab: ”Al-Jawahir Al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya.

Dalam kitab-kitab tersebut disebutkan bahwa salah seorang Waliyullah yang telah mencapai maqam kasyaf (kedudukan tinggi dan sulit dimengerti orang lain) mengatakan bahwa dalam setiap tahun pada Rabu terakhir Bulan Shafar, Allah menurunkan 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam bala’ dalam satu malam. Oleh karena itu, beliau menyarankan Umat Islam untuk shalat dan berdoa memohon agar dihindarkan dari bala’ tsb. Tata-caranya adalah shalat 4 Rakaat. Setiap rakaat membaca surat al Fatihah dan Surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq dan An-Nas 1 kali. Kemudian setelah salam membaca doa khusus yang dibaca sebanyak 3 kali. Waktunya dilakukan pada pagi hari (waktu Dhuha).

PANDANGAN ISLAM

Untuk menyikapi masalah ini, kita perlu meninjau dari berbagai sudut pandang.

Pertama, rekomendasi sebagian ulama sufi (waliyullah) tersebut didasari pada ilham. Ilham adalah bisikan hati yang datangnya dari Allah (semacam “inspirasi” bagi masyarakat umum). Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, ilham tidak dapat menjadi dasar hukum. Ilham tidak bisa melahirkan hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram.

Kedua, ilham yang diterima para ulama tersebut tidak dalam rangka menghukumi melainkan hanya informasi dari “alam ghaib”. Jadi, anjuran beliau-beliau tidak mengikat karena tidak berkaitan dengan hukum Syariat.

Ketiga, ilham yang diterima seorang wali tidak boleh diamalkan oleh orang lain (apalagi orang awam) sebelum dicocokkan dengan al-Qur’an dan Hadits. Jika sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits, maka ilham tersebut dapat dipastikan kebenarannya. Jika bertentangan, maka ilham tersebut harus ditinggalkan.

Memang ada hadits dha’if yang menerangkan tentang Rabu terakhir di Bulan Shafar, yaitu:

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗَﺎﻝَ : ﺁﺧِﺮُ ﺃَﺭْﺑِﻌَﺎﺀَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸَّﻬْﺮِ ﻳَﻮْﻡُ ﻧَﺤْﺲٍ ﻣُﺴْﺘَﻤِﺮٍّ . ﺭﻭﺍﻩ ﻭﻛﻴﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﻐﺮﺭ، ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺮﺩﻭﻳﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮ، ﻭﺍﻟﺨﻄﻴﺐ ﺍﻟﺒﻐﺪﺍﺩﻱ ..

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus (tiap bulan).” Diriwayatkan Waki’ dalam al-Ghurar, Ibnu Mardawayh dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi, al-Jami’us-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilalil-Jami’is-Shaghir wa Syarhail-Munawi, juz 1, hal. 23).

Selain dla’if, hadits ini juga tidak berkaitan dengan hukum (wajib, halal, haram, dll), melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib wat-tarhib).

HUKUM MEYAKINI

Hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir Bulan Shafar, sudah dijelaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:


ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺎ ﻋَﺪْﻭَﻯ ﻭَﻟَﺎ ﺻَﻔَﺮَ ﻭَﻟَﺎ ﻫَﺎﻣَﺔَ . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ .

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Menurut al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan respon Nabi terhadap tradisi yang brekembang di masa Jahiliyah. Ibnu Rajab menulis: “Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Maka Nabi membatalkan hal tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.” [Lathaif al-Ma’arif, hal. 148].

Hadits ini secara implisit juga menegaskan bahwa Bulan Shafar sama seperti bulan-bulan lainnya. Bulan tidak memiliki kehendak sendiri. Ia berjalan sesuai dengan kehendak Allah.

Muktamar NU ke-3 juga pernah menjawab tentang hukum berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan. Para Mu'tamirin mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah sebagai berikut: “Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti, bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Pencipta. Apa yang dikutip tentang hari-hari naas dari sahabat Ali adalah batil dan dusta serta tidak ada dasar hukumnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” [Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54].

HUKUM SHALAT

Shalat Rebo Wekasan (sebagaimana anjuran sebagian ulama di atas), jika niatnya adalah shalat Rebo Wekasan secara khusus, maka hukumnya tidak boleh, karena Syariat Islam tidak pernah mengenal shalat bernama “Rebo Wekasan”. Tapi jika niatnya adalah shalat sunnah mutlaq atau shalat hajat, maka hukumnya boleh-boleh saja. Shalat sunnah mutlaq adalah shalat yang tidak dibatasi waktu, tidak dibatasi sebab, dan bilangan raka'atnya tidak terbatas. Shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan saat kita memiliki keinginan (hajat) tertentu, termasuk hajat li daf’il makhuf (menolak hal-hal yang dikhawatirkan).

Keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang juga menegaskan bahwa shalat khusus Rebo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat hajat. Kemudian Muktamar NU ke-25 di Surabaya (Tanggal 20-25 Desember 1971 M) juga melarang shalat yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat mutlaq. (Referensi: Tuhfah al-Muhtaj Juz VII, Hal 317).

HUKUM BERDOA

Berdoa untuk menolak-balak (malapetaka) pada hari Rabu Wekasan hukumnya boleh, tapi harus diniati berdoa memohon perlindungan dari malapetaka secara umum (tidak hanya malapetaka Rabu Wekasan saja). Al-Hafidz Zainuddin Ibnu Rajab al-Hanbali menyatakan: “Meneliti sebab-sebab bencana seperti melihat perbintangan dan semacamnya merupakan thiyarah yang terlarang. Karena orang-orang yang meneliti biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik sebagai penolak balak, melainkan justru memerintahkan agar tidak keluar rumah dan tidak bekerja. Padahal itu jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Ada lagi yang menyibukkan diri dengan perbuatan maksiat, padahal itu dapat mendorong terjadinya malapetaka. Syari’at mengajarkan agar (kita) tidak perlu meneliti melainkan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak, seperti berdoa, berdzikir, bersedekah, dan bertawakal kepada Allah serta beriman pada qadla’ dan qadar-Nya.” [Ibnu Rajab, Lathaiful-Ma’arif, hal. 143]

HUKUM MENYEBARKAN

Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari pernah menjawab pertanyaan tentang Rebo Wekasan dan beliau menyatakan bahwa semua itu tidak ada dasarnya dalam Islam ( ghairu masyru’ ). Umat Islam juga dilarang menyebarkan atau mengajak orang lain untuk mengerjakannya. Berikut naskah lengkap dari beliau:


ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ ﻭﺑﻪ ﻧﺴﺘﻌﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﻮﺭ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ .
ﺃﻭﺭﺍ ﻭﻧﺎﻉ ﻓﻴﺘﻮﺍ ﺃﺟﺎﺀ – ﺃﺟﺎﺀ ﻟﻦ ﻋﻼﻛﻮﻧﻲ ﺻﻼﺓ ﺭﺑﻮ ﻭﻛﺎﺳﺎﻥ ﻟﻦ ﺻﻼﺓ ﻫﺪﻳﺔ ﻛﺎﻉ ﻛﺎﺳﺒﻮﺕ ﺇﻉ ﺳﺆﺍﻝ، ﻛﺮﻧﺎ ﺻﻼﺓ ﻟﻮﺭﻭ ﺇﻳﻜﻮ ﻣﺎﻫﻮ ﺩﻭﺩﻭ ﺻﻼﺓ ﻣﺸﺮﻭﻋﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻟﻦ ﺃﻭﺭﺍ ﺃﻧﺎ ﺃﺻﻠﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻉ . ﻭﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺧﻠﻮ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪﺓ ﻋﻦ ﺫﻛﺮﻫﺎ، ﻛﻴﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺗﻘﺮﻳﺐ، ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ ﺍﻟﻘﻮﻳﻢ، ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ، ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﺮ ﻟﻦ ﺳﺄ ﻓﻨﺪﻭﻛﻮﺭ ﻛﻴﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺔ، ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ ﻟﻦ ﺇﺣﻴﺎﺀ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ . ﻛﺎﺑﻴﻪ ﻣﺎﻫﻮ ﺃﻭﺭﺍ ﺃﻧﺎ ﻛﻊ ﻧﻮﺗﻮﺭ ﺻﻼﺓ ﻛﻊ ﻛﺎﺳﺒﻮﺕ .
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻟﻬﺎ ﺃﺻﻞ ﻟﺒﺎﺩﺭﻭﺍ ﺇﻟﻰ ﺫﻛﺮﻫﺎ ﻭﺫﻛﺮ ﻓﻀﻠﻬﺎ، ﻭﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺗﺤﻴﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺗﻐﻴﺐ ﻋﻦ ﻫﺆﻻﺀ ﻭﻫﻢ ﺃﻋﻠﻢ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻗﺪﻭﺓ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ . ﻟﻦ ﺃﻭﺭﺍ ﻭﻧﺎﻉ ﺃﻭﻳﻪ ﻓﻴﺘﻮﺍ ﺃﺗﻮﺍ ﻋﺎﻓﻴﻚ ﺣﻜﻮﻡ ﺳﺎﻛﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﺠﺮﺑﺎﺕ ﻟﻦ ﻛﺘﺎﺏ ﻧﺰﻫﺔ ﺍﻟﻤﺠﺎﻟﺲ . ﻛﺘﺮﺍﻋﺎﻥ ﺳﻜﻊ ﻛﺘﺎﺏ ﺣﻮﺍﺷﻰ ﺍﻷﺷﺒﺎﻩ ﻭﺍﻟﻨﻈﺎﺋﺮ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺍﻟﺤﻤﺪﻱ ﻗﺎﻝ : ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻹﻓﺘﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﻐﻴﺮ ﺍﻟﻤﻌﺘﺒﺮﺓ، ﻟﻦ ﻛﺘﺮﺍﻋﺎﻥ ﺳﻜﻊ ﻛﺘﺎﺏ ﺗﺬﻛﺮﺓ ﺍﻟﻤﻮﺿﻮﻋﺎﺕ ﻟﻠﻤﻼ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ : ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻧﻘﻞ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﻨﺒﻮﻳﺔ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﺋﻞ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﻭﺍﻟﺘﻔﺎﺳﻴﺮ ﺍﻟﻘﺮﺁﻧﻴﺔ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﻤﺪﺍﻭﻟﺔ ‏( ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﺓ ‏) ﻟﻌﺪﻡ ﺍﻹﻋﺘﻤﺎﺩ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﻦ ﻭﺩﻉ ﺍﻟﺰﻧﺎﺩﻗﺔ ﻭﺍﻟﺤﺎﺩ ﺍﻟﻤﻼﺣﺪﺓ ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﻤﺤﻔﻮﻇﺔ ﺍﻧﺘﻬﻰ . ﻟﻦ ﻛﺘﺮﺍﻋﺎﻥ ﺳﻜﻊ ﻛﺘﺎﺏ ﺗﻨﻘﻴﺢ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﺍﻟﺤﻤﻴﺪﻳﺔ : ﻭﻻ ﻳﺤﻞ ﺍﻹﻓﺘﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﻐﺮﻳﺒﺔ . ﻭﻗﺪ ﻋﺮﻓﺖ ﺃﻥ ﻧﻘﻞ ﺍﻟﻤﺠﺮﺑﺎﺕ ﺍﻟﺪﻳﺮﺑﻴﺔ ﻭﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺴﺘﻴﻦ ﻻﺳﺘﺤﺒﺎﺏ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﻓﻼ ﻳﺼﺢ ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻹﻓﺘﺎﺀ ﺑﻬﺎ . ﻟﻦ ﻣﺎﻟﻴﻪ ﺣﺪﻳﺚ ﻛﻊ ﻛﺎﺳﺒﺎﺕ ﻭﻭﻧﺘﻦ ﻛﺘﺎﺏ ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺴﺘﻴﻦ ﻓﻮﻧﻴﻜﺎ ﺣﺪﻳﺚ ﻣﻮﺿﻮﻉ . ﻛﺘﺮﺍﻋﺎﻥ ﺳﻜﻊ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻘﺴﻄﻼﻧﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ : ﻭﻳﺴﻤﻰ ﺍﻟﻤﺨﺘﻠﻒ ﺍﻟﻤﻮﺿﻮﻉ ﻭﻳﺤﺮﻡ ﺭﻭﺍﻳﺘﻪ ﻣﻊ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﻪ ﻣﺒﻴﻨﺎ ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻣﻄﻠﻘﺎ . ﺍﻧﺘﻬﻰ .… …… ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ : ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻟِﺄَﺣَﺪٍ ﺃَﻥْ ﻳَﺴْﺘَﺪِﻝَّ ﺑِﻤَﺎ ﺻَﺢَّ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻗَﺎﻝَ : ﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﺧَﻴْﺮُ ﻣَﻮْﺿُﻮْﻉٍ، ﻓَﻤَﻦْ ﺷَﺎﺀَ ﻓَﻠْﻴَﺴْﺘَﻜْﺜِﺮْ ﻭَﻣَﻦْ ﺷَﺎﺀَ ﻓَﻠْﻴَﺴْﺘَﻘْﻠِﻞْ، ﻓَﺈِﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﻣُﺨْﺘَﺺٌّ ﺑِﺼَﻼَﺓٍ ﻣَﺸْﺮُﻭْﻋَﺔٍ . ﺳﻜﻴﺮﺍ ﺃﻭﺭﺍ ﺑﻴﺼﺎ ﺗﺘﻒ ﻛﺴﻨﺘﺎﻧﻲ ﺻﻼﺓ ﻫﺪﻳﻪ ﻛﻠﻮﺍﻥ ﺩﻟﻴﻞ ﺣﺪﻳﺚ ﻣﻮﺿﻮﻉ، ﻣﻚ ﺃﻭﺭﺍ ﺑﻴﺼﺎ ﺗﺘﻒ ﻛﺴﻨﺘﺎﻧﻲ ﺻﻼﺓ ﺭﺑﻮ ﻭﻛﺎﺳﺎﻥ ﻛﻠﻮﺍﻥ ﺩﺍﻭﻭﻫﻲ ﺳﺘﻌﺎﻫﻲ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻌﺎﺭﻓﻴﻦ، ﻣﺎﻻﻩ ﺑﻴﺼﺎ ﺣﺮﺍﻡ، ﺳﺒﺐ ﺇﻳﻜﻲ ﺑﻴﺼﺎ ﺗﻠﺒﺲ ﺑﻌﺒﺎﺩﺓ ﻓﺎﺳﺪﺓ . ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻋﻠﻢ . ‏( ﻫﺬﺍ ﺟﻮﺍﺏ ﺍﻟﻔﻘﻴﺮ ﺇﻟﻴﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﺤﻤﺪ ﻫﺎﺷﻢ ﺃﺷﻌﺮﻱ ﺟﻮﻣﺒﺎﻉ).

KESIMPULAN

Tradisi Rebo Wekasan memang bukan bagian dari Syariat Islam, akan tetapi merupakan tradisi yang positif karena (1) menganjurkan shalat dan doa, (2) menganjurkan banyak bersedekah, (3) menghormati para wali yang mukasyafah [Surah Yunus : 62]. Karena itu, hukum ibadahnya sangat bergantung pada tujuan dan teknis pelaksanaan. Jika niat dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan syariat, maka hukumnya boleh. Tapi bila terjadi penyimpangan (baik dalam keyakinan maupun caranya), maka hukumya haram.

Bagi yang meyakini silahkan mengerjakan tapi harus sesuai aturan syariat dan tidak perlu mengajak siapapun. Bagi yang tidak meyakini tidak perlu mencela atau mencaci-maki.

Mengenai indikasi adanya kesialan pada akhir bulan Shafar, seperti peristiwa angin topan yang memusnahkan Kaum ‘Ad [QS. Al-Qamar: 18-20], maka itu hanya satu peristiwa saja dan tidak terjadi terus-menerus. Karena banyak peristiwa baik yang juga terjadi pada Rabu terakhir Bulan Shafar, seperti penemuan air Zamzam di Masjidil Haram, penemuan sumber air oleh Sunan Giri di Gresik, dll.
Kemudian, betapa banyak orang yang selamat (tidak tertimpa musibah) pada Hari Rabu terakhir bulan Shafar, meskipun mereka tidak shalat Rebo Wekasan. Sebaliknya, betapa banyak musibah yang justru terjadi pada hari Kamis, Jum’at, Sabtu, dll (selain Rabu Wekasan) dan juga pada bulan-bulan selain Bulan Shafar. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya musibah atau malapetaka adalah urusan Allah, yang tentu saja berkorelasi dengan sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

Mengenai cuaca ekstrim yang terjadi di bulan ini (Shafar), maka itu adalah siklus tahunan. Itu adalah fenomena alam yang bersifat alamiah (Sunnatullah) dan terjadi setiap tahun selama satu bulanan (bukan hanya terjadi pada Hari Rabu Wekasan saja). Intinya, sebuah hari bernama “Rebo Wekasan” tidak akan mampu membuat bencana apapun tanpa seizin Allah. Wallahu a’lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maaf, jika anda berkomentar tolong sertakan nama dan alamat apabila anda pakai "anonymous" (tanpa identitas), terima kasih...