BTemplates.com

Selamat Datang Di Website Majelis Al-Badar, Komunitas Online Para Pecinta Rasulullah...

Jumat, 22 September 2017

BID’AH

I. Nabi memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah

Nabi memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syari'ah, sebagaimana sabda beliau: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” [Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibnu Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibnu Hibban dan banyak lagi]. Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.

Perhatikan hadits beliau, bukankah beliau menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yg membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi yg tidak mencekik ummat, beliau tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal-hal yg baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yg tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat : ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM..dst, “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yg baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syari'ah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam.

Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syari'at baru yg bertentangan dengan syari'ah dan sunnah Rasul, atau menghalalkan apa-apa yg sudah diharamkan oleh Rasul atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau: “Barangsiapa yg membuat buat hal baru yg berupa keburukan…dst”, inilah yg disebut Bid’ah Dhalalah. Beliau telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau memperbolehkannya (hal yg baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yg ada dizaman kehidupan beliau saja, dan beliau telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yg buruk (Bid’ah dhalalah).

Mengenai pendapat yg mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yg dangkal dalam pemahaman syari'ah, karena hadits diatas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.

II. Siapakah yg pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul?

Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yg mereka itu para Huffadh (yg hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq, berkata Abubakar Ashiddiq kepada Zeyd bin Tsabit: “Sungguh Umar telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul qur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata: Bagaimana aku berbuat suatu hal yg tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” berkata Zeyd: “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah?”, maka Abubakar mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. [Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768]

Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq mengakui dengan ucapannya: “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yg baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, ada yg tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yg memulainya.

Kita perhatikan hadits yg dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul selepas melakukan shalat subuh beliau menghadap kami dan menyampaikan ceramah yg membuat hati berguncang, dan membuat air mata mengalir.., maka kami berkata: “Wahai Rasulullah.. seakan-akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul bersabda: “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yg berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yg mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati-hatilah dengan hal-hal yg baru, sungguh semua yg Bid’ah itu adalah kesesatan”. [Mustadrak Ala shahihain hadits no.329].

Jelaslah bahwa Rasul menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’ur rasyidin, dan sunnah beliau telah memperbolehkan hal yg baru selama itu baik dan tak melanggar syari'ah, dan sunnah khulafa’ur rasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq dan Umar bin Khattab menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yg baru, yg tidak dilakukan oleh Rasul yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib.

Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’ur rasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata: “Inilah sebaik-baik Bid’ah [Shahih Bukhari hadits no.1906], lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib menghadiri dan menyetujui hal itu. Demikian pula hal yg dibuat-buat tanpa perintah Rasul adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq, tidak pula dimasa Umar bin khattab dan baru dilakukan dimasa Utsman bin Affan, dan diteruskan hingga kini. [Shahih Bulkhari hadits no.873].

Siapakah yg salah dan tertuduh?, siapakah yg lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’ur rasyidin ini tak faham makna Bid’ah?


III. Bid’ah Dhalalah

Jelaslah sudah bahwa mereka yg menolak bid’ah hasanah inilah yg termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’ur rasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syari'ah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul dan dilakukan oleh Khulafa’ur rasyidin, dan Rasul telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ur rasyidin, bagaimana Sunnah Rasul?, beliau membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’ur rasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yg merupakan Bid’ah dhalalah, hal yg telah diperingatkan oleh Rasul.

Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma'/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu ’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah wafat.

Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul untuk membukukannya, tak pula Khulafa’ur rasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul. Begitu pula Ilmu Musthalah hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah. Demikian pula ucapan “Radhiyallahu ’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.

Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul yg telah membolehkannya, beliau telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yg berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau telah melarang hal-hal baru yg berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).

Saudara-saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirul mukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Asshiddiq berkata mengenai Bid’ah hasanah: “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.

Lalu berkata pula Zeyd: ”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah?, maka Abubakar mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abubakar) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.

Maka kuhimbau saudara-saudaraku muslimin yg kumuliakan, hati yg jernih menerima hal-hal baru yg baik adalah hati yg sehati dengan Abubakar shiddiq, hati Umar bin Khattab, hati Zeyd, hati para sahabat, yaitu hati yg dijernihkan Allah, Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’ur rasyidin, gigit dengan geraham yg maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.

Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan seluruh sahabat.. amiin.

IV. Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah

Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafi'i rahimahullah (Imam Syafi'i)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab mengenai shalat tarawih: “inilah sebaik baik bid’ah”. [Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87]

Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi yg berbunyi: “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal-hal yg tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya”. [Shahih Muslim hadits no.1017], dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. [Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87]

Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits: “Barangsiapa membuat-buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau: “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. [Syarah Imam Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105]

Dan berkata pula Imam Nawawi: "bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah, bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram. Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid'ah yg Mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana ucapan Umar atas jama'ah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. [Syarah Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155]

Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah: “… yg Menghancurkan segala sesuatu” [QS. Al Ahqaf 25], dan kenyataannya tidak segalanya hancur, atau pula ayat: “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” [QS Assajdah 13], dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim, atau hadits: “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul). [Syarah Assuyuti Juz 3 hal 189]

Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yg bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati dari manakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yg disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yg tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam?

Walillahittaufiq...

[Oleh: Guru Mulia Kita Al Marhum Habib Mundzir Al Musawa, Pada 01 juni 2007]