BTemplates.com

Selamat Datang Di Website Majelis Al-Badar, Komunitas Online Para Pecinta Rasulullah...

Senin, 16 Oktober 2017

Guru Mulia Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa, Bagian 1


Beliau lahir di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, pada hari Jum’at, 23 Februari 1973, bertepatan dengan tanggal 19 Muharram 1393H.

Usai menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat atas, beliau mulai mendalami ilmu ilmu syari’ah Islam, diantaranya di Pesantren Al-Kifahi Ats-Tsaqafi, Bukit Duri, Jakarta Selatan, mengambil kursus bahasa Arab di LPBA As-Salafi, Kebon Nanas, Jakarta Timur, kemudian mondok lagi di Pesantren Al-Khairat, Bekasi Timur.

Saat di pesantren Al-Khairat itulah pertama kalinya beliau bertemu Habib Umar bin Hafidz, guru utamanya dikemudian hari. Kepada sang guru, beliau menekuni pelajaran selama empat tahun, yaitu di Ma’had Darul Mushthafa, Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan.

Mau Jadi Apa?
Semasa kecil, beliau seorang anak yang sangat dimanja oleh ayahnya. Beliau pun sampai merasa bahwa sang ayah lebih memanjakannya lebih dari anaknya yang lain. Namun, beranjak remaja, justru sang anak kesayangan ini yang putus sekolah, sementara kakak kakaknya dapat melanjutkan pendidikannya hingga sampai wisuda. Sang ayah bangga pada mereka, tapi, sang ayah kecewa kepada beliau karena malas sekolah.

Namun demikian, beliau rajin menghadiri majelis majelis ilmu. Disamping itu, ia juga menghabiskan waktu di hari hari mudanya dengan bersholawat seribu kali siang dan malam, berdzikir beberapa ribu kali, menjalankan puasa Nabi Daud (sehari puasa sehari libur, hari berikutnya puasa lagi dst), dan sholat malam berjam-jam. (Tapi) Beliau pengangguran, dan sangat membuat ayah bunda malu.

Almarhum Ayah sangat malu. Beliau mumpuni dalam agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia. Sang ayah berkata pada beliau (Habib Mundzir), ‘Kau ini mau jadi apa? Jika mau agama, belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai ke luar negeri. Jika ingin ilmu dunia, tuntutlah sampai ke luar negeri…’ Namun beliau sangat mengecewakan ayah bunda. Boleh dikata, "dunia tidak, akhirat pun tidak".

Ketika sang ayahnya pensiun, ibundanya membangun losmen kecil di depan rumah, yang hanya menyediakan lima kamar dan hanya disewakan pada orang yang baik baik, untuk biaya nafkah keluarga, dan ketika itu beliau menjadi pelayan losmen milik ibundanya tersebut.

Setiap malam beliau jarang tidur. beliau banyak termenung di kursi resepsionis yang hanya berupa meja kecil dan kursi kecil mirip di pos satpam, sambil menanti tamu. Sambil menunggu losmen, beliau habiskan malam malamnya itu dengan bertafakkur, merenung, berdzikir, menangis, dan sholat malam. Sebagai pelayan losmen, tugasnya adalah menerima tamu, memasang seprai, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, seperti teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan sang bunda, jika tamu memesannya.

Sampai ketika semua kakaknya lulus sarjana, beliau tergugah untuk mondok di Pesantren Al-Kifahi Al-Tsaqafi, asuhan Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri, Jakarta Selatan, dan juga belajar di Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah. Namun disana beliau hanya sampai sekitar dua bulan, karena sering sakit sakitan. Penyakit lamanya, yaitu asma, sering kambuh.

Ayah beliau makin malu, bunda pun makin sedih. Lalu beliau ambil kursus bahasa Arab di As-Salafi, pimpinan Habib Bagir Al-Attas. Beliau pun harus pulang pergi Jakarta-Cipanas, yang saat itu ditempuh dalam dua-tiga jam, dengan ongkos sendiri, dua kali dalam sepekan. Ongkos perjalanan adalah hasil dari pekerjaannya di losmen tersebut.

Berjumpa Guru Mulia
Beliau juga selalu menyempatkan diri hadir di Majelis Maulid ditempat Habib Umar bin Hud Al-Atthas, yang saat itu di Cipayung. Jika tak ada ongkos, beliau menumpang truk. Karenanya, sering kali beliau sampai harus berhujan hujanan. Tak jarang beliau datang ke Majelis Maulid malam Jum’at itu dalam keadaan basah kuyup, sampai sampai beliau pernah diusir oleh penjaga di rumah Habib Umar bin Hud, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas beliau yang kotor dan basah menginjaknya. Beliau terpaksa berdiri berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu tamu berdatangan. Beliau duduk di luar teras saja, karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.

Beliau sering pula berziarah ke Luar Batang, makam Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus. Suatu ketika beliau datang kesana dan lupa membawa kopiah, karena datang langsung dari Cipanas. “Ya Allâh, aku datang sebagai tamu seorang wali-Mu. Tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa berkopiah, tapi uangku pas pasan, dan aku lapar. Kalau beli kopiah, aku tak makan, dan ongkos pulangku kurang,” demikian hatinya mengucap saat itu.

Akhirnya beliau memutuskan membeli kopiah. Pilihannya yang berwarna hijau, karena itu yang termurah saat itu di emperan penjual kopiah. Usai membelinya dan masuk berziarah, sambil membaca Surah Yasin untuk dihadiahkan kepada shahibul maqam, beliau menangisi kehidupannya yang penuh dengan ketidak menentuan, mengecewakan orangtua, sering menghindar dari lingkungan yang terkadang mencemooh beliau, “Kakak kakakmu semua sukses, ayahmu lulusan Makkah dan juga New York University. Kok anaknya centeng losmen…”

Dalam tangisan itu, hatinya kembali berucap, “Wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang shalih di sisi Allâh, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang.”

Saat itu, tiba tiba datang serombongan kawannya di pesantren Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Tampak mereka senang berjumpa dengannya. Beliau pun ditraktir makan. Beliau langsung teringat, "ini berkah saya beradab di makam wali Allâh".

Beliau pun ditanya, dengan siapa dan mau kemana, Beliau katakan bahwa beliau sendiri dan mau pulang ke kerabat ibu di bilangan Pasar Sawo, Kebon Nanas. Mereka berkata, “Ayo bareng saja, kami antar sampai Kebon Nanas.” Beliau semakin bersyukur kepada Allâh, karena memang ongkosnya tak akan cukup jika pulang ke Cipanas. Hari sudah larut malam ketika beliau sampai di kediaman bibi dari ibunya. Keesokan harinya beliau diberi uang cukup untuk pulang ke Cipanas.

Tak lama dari kejadian itu, ia masuk Pesantren Al-Khairat, asuhan Habib Nagib bin Syaikh Abubakar, di Bekasi Timur. Di pesantren itu, setiap kali majelis pembacaan Maulid digelar dan saat Mahallul Qiyam dibacakan, ia menangis. Beliau berdoa kepada Allâh bahwa beliau rindu pada Rasulullah. Beliau pun ingin dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasul.

Dalam beberapa bulan saja setelah beliau mondok disana, tibalah Habib Umar bin Hafidz ke pondok itu. Itu adalah kunjungan pertama Habib Umar ke Indonesia, yaitu pada tahun 1994. Pertemuannya dengan Habib Umar membawa hikmah yang luar biasa, yang kemudian membawa langkah kakinya menuju negeri leluhurnya, Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan, tempat Habib Umar membina ma’hadnya, Darul Mushthafa.

Habib Mundzir saat remaja

Adab kepada Guru
Singkat kisah, sesampainya di Tarim, yaitu di kediaman Habib Umar, sang guru mengabsen semua nama yang ikut dalam rombongan bersamanya saat itu. Ketika sampai pada namanya yang dipanggil, sesaat Habib Umar memandangnya, lalu tersenyum indah.

Tak lama setelah kedatangan mereka, yang merupakan generasi pertama santri Darul Musthafa, pecahlah perang antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati, mereka pun harus berjalan kaki ke mana mana dan menempuh jalan sekitar tiga-empat kilometer untuk aktivitas ta’lim. Biasanya, menggunakan mobil milik Habib Umar, namun dimasa perang pasokan bensin sangat tidak memadai.

Suatu hari Habib Umar bin Hafidz menatap dan kemudian berkata kepada beliau, “Namamu ‘Mundzir’ – pemberi peringatan.”
Ia mengangguk.

Lalu sang guru berkata lagi kepada beliau, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu", beliau termenung. Setelah kejadian itu, sering kali terngiang ucapan sang guru itu, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu”.

Beliau berfikir, “Saya akan punya jama’ah? Saya miskin begini, bahkan untuk mencuci baju pun tak punya uang untuk beli sabun cuci”.

Pernah beliau ingin mencucikan baju salah seorang temannya agar mendapat upah mendapat bagian sabun cucinya. Sayangnya, beliau malah mendapat hardikan, “Cucianmu tidak bersih, orang lain saja yang mencuci baju ini”. beliau pun terpaksa mencuci dengan menggunakan air bekas mengalirnya air cucian mereka. Air sabun bekas cucian yang mengalir itulah yang beliau gunakan untuk mencuci bajunya.

Hari demi hari Habib Umar semakin sibuk. Beliau memilih untuk banyak berkhidmat pada sang guru. Beliau pun lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman mereka, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri, sampai harus meninggalkan pelajaran demi bakti pada sang guru. Rupanya, itu adalah kiatnya untuk lebih sering berjumpa dengan gurunya tersebut.

Beliau turut membersihkan rumah sang guru, membantu membawakan sandalnya, terus berdekatan dengannya agar jika sang guru perlu sesuatu ia menjadi budaknya (demikian Habib Munzir menyebutnya sendiri) yang paling dekat yang siap diperintah. Beliau terus menempel pada gurunya, sampai sang guru masuk ke rumahnya larut malam. Dan sebelum sang guru keluar menuju sholat Shubuh di masjid, beliau sudah berdiri mematung di depan pintu sang guru dengan penuh kerinduan, atau sambil duduk. Begitu sang guru keluar, ia segera menyalami nya dan menjadi pengiringnya sampai masjid. Demikian aktivitasnya sebagai santri yang paling sering beliau lakukan.

Suatu ketika, Habib Umar sudah selesai menerima tamu tamunya di waktu dhuha. Beliau ikut sholat dhuha bersama gurunya, tapi dengan lebih mempercepat, kemudian segera duduk lagi tak jauh dari duduknya Habib Umar. Habib Umar pun paham, ia akan tetap disana sebelum sang guru masuk rumah.

Ketika itu Habib Umar menoleh kepadanya, “Apa yang sedang kau dambakan?” Kepalanya menunduk, lalu berkata, “Ridho mu, Tuan Guru”. Habib Umar kemudian mengangkat kedua tangannya ke langit dan menengadahkannya. Lalu sang guru tersenyum, kemudian masuk ke dalam rumahnya.

Tahun 1998, ia dan kawan kawannya, generasi pertama santri Darul Musthafa, kembali ke tanah air. Di negeri kelahirannya ini, ia membangun rintisan dakwahnya dari nol, hingga akhirnya berkibarlah bendera Majelis Rasulullah, sebagai salahsatu syi'ar majelis kaum Ahlussunnah Waljama’ah, yang banyak membawa kebaikan, khususnya bagi para pemuda dan pemudi Islam Ibu Kota Jakarta.

Ujian Fisik
Banyak ujian fisik dihadapi Habib Mundzir dimasa masa awal membangun Majelis Rasulullah maupun di masa masa kemudiannya saat beliau mengarungi medan dakwah yang begitu luas, bahkan hingga akhir hayatnya. Perjuangan yang harus dihadapinya tidaklah mudah.

Di masa masa awal itu, suatu ketika, saat beliau tengah dalam perjalanan ke sebuah tempat, penyakit asma yang dideritanya kambuh. Padahal disakunya tidak ada uang meski hanya sepeser. Ia mencoba mengetuk pintu rumah seseorang yang dikenalnya. Ternyata rumah tersebut kosong, padahal asmanya semakin berat. Untuk minum obat yang ia miliki jelas tidak mungkin, karena perutnya masih kosong.

Dengan hati berat, Habib Mundzir meninggalkan rumah tersebut. Distopnya sebuah taksi yang kebetulan lewat di dekatnya. Tujuannya ke rumah seorang kerabat yang beliau kenal. beliau nekat menumpang taksi, karena serangan asma yang dirasakannya semakin parah. Sedangkan masalah ongkos taksi, beliau berharap akan dibayar teman yang tengah ditujunya itu. Ditengah perjalanan, saking beratnya serangan penyakit tersebut, beliau pingsan. Atas kehendak Allâh, hati pengemudi taksi itu terbuka. Sang pengemudi membawanya ke rumah sakit.

Sampai disana, beliau setengah sadar. Beliau takjub, karena dirinya langsung mendapatkan penanganan, padahal saat itu beliau tengah khawatir dengan biaya yang bakal ditanggungnya. “Allâh benar benar telah menggerakkan hati hamba-Nya. Sampai saya keluar rumah sakit, biaya yang digunakan untuk pengobatan tersebut sudah ada yang menanggungnya”. kata Habib Mundzir tanpa menyebutkan siapa yang membiayai pengobatan itu disaat beliau berkisah.

Habib Nabiel (kakak beliau) berkisah: “Adik saya itu sejak kecil punya asma kronis. Seminggu bisa terserang tiga hingga empat kali, dan itu parah”.

Ketika asma Habib Mundzir kambuh, kakaknya itu sering melihat adiknya tak bisa berbicara, mukanya pucat, berkeringat, dan tak bisa makan. Namun sang adik sangat sabar serta tak pernah mengeluh. “Beliau memang sejak dari kecil diberikan cobaan. Dengan kondisi seperti itu tentu berat,” Ujar Habib Nabiel.
Saat remaja, kata Habib Nabiel, adiknya memilih masuk pondok, bukan ke sekolah umum SMA. Pada suatu saat, adiknya mengalami sakit di pondok. Namun ia tak pernah memberi tahu ke keluarga. Memang, jika masuk rumah sakit, ia tak pernah memberi tahu.

“Saat dia sakit, nggak mau memberi tahu kami. Pernah dia tiba tiba pulang diantar orang pesantren dengan koreng di badannya. Dia katanya nggak mau merepotkan keluarga,” kenang Habib Nabiel.

Menurut kakak sulungnya itu, Habib Mundzir tipe orang yang tak mau mengeluh dan tak mau merepotkan keluarga. Rasa sakit yang dialaminya hanya dipendam sendiri. “Dia tak ingin keluarganya sedih.” ujarnya. Penyakit Habib Mundzir bertambah ketika ia mulai menjalani kesibukan. Ia sering mengalami sakit kepala yang parah hingga pingsan. Bahkan, jika kepalanya itu sakit, Habib Mundzir kerap terlihat seperti orang marah. Padahal, sehari hari Habib Mundzir orang yang sabar dan halus.

Namun, lagi lagi Habib Mundzir selalu memendam rasa sakitnya dan memilih tak mengeluh. “Yang beliau pikirkan adalah bagaimana menghidupkan majelis yang sudah sebesar itu. Beliau berusaha keras, bahkan kegiatannya melebihi kemempuannya. Beliau mengorbankan segalanya untuk dakwah, dan cita citanya tinggi, begitu pula kesabarannya,” Ujar Habib Nabiel.

Ribuan jamaah memadati Masjid Al Munawwar sebelum menshalatkan Jenazah Almarhum Habib Munzir

Pejuang Dakwah
Ahad petang, 15 September 2013, kabar tersiar, Habib Mundzir wafat, sejumlah orang dekatnya, termasuk keluarganya, mengkhabarkan, wafat dalam keadaan tersenyum.

Tersenyum saat wafat mengingatkan kita pada jenazah para syuhada’. Dari sebuah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, salah satu keistimewaan syuhada’ adalah diperlihatkan tempat tinggalnya di syurga. Siapa yang tak berbahagia ketika diperlihatkan bahwa tempat tinggalnya nanti adalah surga? Dan kebahagian pada saat menyongsong maut itu memancar dalam wajah dan mengembangkan bibirnya. Jadilah ia tersenyum.

Jika untuk para syuhada’ penjelasannya seperti itu, bagaimana dengan ulama dan para da’i seperti Habib Mundzir, yang tidak meninggal dalam kondisi perang? Wallahu a’lam bisshowab.

Namun memang bisa saja seseorang yang tidak meninggal ditengah medan jihad (perang) tapi matinya tergolong syahid. Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh sungguh, Allâh akan memberikannya meskipun ia mati di atas tempat tidur”. [H.R Muslim]

Betapapun, tidak ada yang meragukan betapa Habib Mundzir memang seorang pejuang dakwah. Beliau wafat saat masih mengarungi samudera dakwah yang luas, sebagai salah seorang pejuang sejati.

“Habis umurnya untuk memikirkan umat. Pada saat acara acara besar untuk umat, pikiran dan fisik beliau sampai lemah. Dalam keadaan pakai kursi roda, beliau mengisi acara, bahkan pakai tempat tidur beliau tetap mengisi acara”, Kata Habib Nabiel.

“Penyakit beliau banyak, dikepala, tulang belakang, asma, bahkan sampai ada cairan di perut, tapi Alhamdulilah sudah berhenti”, Ujar kakak tertua dari lima bersaudara ini.

Keesokan harinya, Senin pagi, sekitar pukul 10, jenazahnya dibawa ke Masjid Al-Munawwar, Pancoran, Jakarta Selatan, untuk disholatkan. Masjid itu menjadi saksi atas dakwah Habib Mundzir selama bertahun tahun, membasuh ribuan hati pemuda pemudi Islam ibu kota, lewat Majelis Rasulullah, yang digelar setiap Senin malam. Pagi itu, masjid tersebut disambangi Habib Mundzir untuk terakhir kalinya.

Ba’da dhuhur, usai disholatkan, jenazah Habib Mundzir yang berada didalam ambulans, langsung disambut kalimat “Lâ ilâha illâllâh” oleh ribuan jama’ah yang sudah memadati tempat pemakaman.

Banyaknya jama’ah yang ingin menyaksikan prosesi pemakaman Habib Mundzir membuat ambulans yang membawa jenazahnya membutuhkan waktu lama dari tempat mensholatkan di Masjid Al-Munawwar ke pemakaman Habib Kuncung, Rawajati. Para jama’ah seakan tak rela melewatkan peristiwa itu begitu saja. Sebagian besar dari mereka mengabadikannya, meski harus rela berdesak desakan, guna mengambil gambar, baik video maupun foto menggunkan handphone.

Sebelum dimasukkan ke liang lahat, jenazah Habib Mundzir kembali disholatkan di masjid di lingkungan kompleks pemakaman Habib Kuncung, untuk memberi kesempatan bagi jama’ah yang belum mensholatkan. Sejak pagi, kompleks pemakaman itu memang sudah dipadati ribuan jama’ah, menunggu kedatangan jenazah. Sebagai seorang dai yang memiliki banyak jama’ah yang amat mencintainya, seringkali Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa menyampaikan pesan kepada jama’ahnya. Salah satu pesannya sebelum beliau meninggal adalah menitipkan perjuangan dakwah. “Pesan habibana: JIKA AKU WAFAT MENDAHULUI KALIAN, KUTITIPKAN PERJUANGAN DAKWAH SANG NABI PADA KALIAN”.

Umat Islam di Jakarta dan juga kota kota lainnya, mendoakan Habib Mundzir yang telah lebih dulu meninggalkan mereka. Bukan hanya di Nusantara, di kota Tarim pun sampai digelar majelis khatam Al-Quran untuk Habib Munzir. Dalam majelis itu, Habib Umar sempat menyampaikan sambutan. Berikut ini diantara yang disampaikan oleh sang guru utama Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa:
“Dan mereka adalah ahlul akhlaq (orang orang yang berakhlaq), sehingga berkumpul 20 ribu, 30 ribu, 40 ribu, kemudian bertambah lagi, berkumpul di beberapa perayaan 100 ribu, 200 ribu, dan aku telah hadir di beberapa perkumpulan ketika kunjunganku di mana lapangan tersebut dipenuhi oleh para jama’ah, dimana tidak mungkin jumlah tersebut terkumpul pada perkumpulan pemerintahan atau yang lainnya. Akan tetapi sang raja hati itu (Sulthonul Qulub, demikian sebutan Habib Umar pada Habib Mundzir) dengan cahaya keimanan mengajak hati sanubari yang lain sehingga mereka menyambut banyak diantara mereka yang sebelumnya tidak pernah sholat, menjadi orang yang menjaga sholat, ditambah lagi dengan berjama’ah dan sholat sunnah rawatib. Dan banyak diantara mereka yang tadinya bermabuk mabukan menjadi orang yang jauh dari hal tersebut, dan menjadi orang yang mengharapkan cangkir cangkir dari dzikir kepada Allâh subhanahu wata’ala dan cangkir cangkir yang berhubungan dengan Nabi Muhammad, menyebut nama Nabi dengan bergetarnya sholawat kepadanya, dan merindukan perjumpaan dengannya.

Diantara mereka ada yang menangis, ada yang pingsan, ada yang khusyu’, ada yang bertaubat, ada yang mengamalkan nasihat, ada yang bergetar hatinya, baik dalam keadaan berdiri maupun duduknya mereka. Aku telah menyaksikan apa yang kusaksikan dari mereka.

Allâh telah memilihnya untuk kembali kepada-Nya pada usia 40 tahun dan insyâ Allâh digolongkan dalam kelompok (orang orang yang mendapat keridhoan Nya), dan masuk ke dalam kumpulan mereka.

Ini merupakan perkara yang bukan dihitung berdasarkan panjang atau pendeknya usia. Akan tetapi, perkara terpenting adalah keadaan ditempat kebangkitan kelak dan keadaan ketika menghadap kepada Yang Maha luhur dan Maha Agung”.

Annallaha yaghfir lahu wa yarhamhu wa yu’li darajatihi fil jannah. wa yanfa’una bi asrarihi wa anwarihi wa ulumihi fiddiini waddunia wal akhirah... Aamiiin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maaf, jika anda berkomentar tolong sertakan nama dan alamat apabila anda pakai "anonymous" (tanpa identitas), terima kasih...